Kenapa, sih, apa-apa butuh KTP? Kenapa, ya, KTP itu harus dibawa kemanapun kita pergi? Jawabannya karena KTP bukan hanya identitas formal sebagai WNI melainkan gerbang akses untuk banyak urusan kita.
Mulai dari urusan perbankan, keuangan, kesehatan, travelling, sampai belanja pun, KTP sangat dibutuhkan. Namun, saking banyaknya penggunaan KTP, balik kemudahan itu, muncul penipuan baru yakni dengan KTP palsu.
Dikutip dari antaranews, polisi mengungkap bahwa ada sindikat yang membeli ribuan data NIK dan nomor KK dari pasar gelap seharga Rp 200 per data. Data ini digunakan untuk registrasi SIM card palsu, yang nantinya digunakan untuk aktivitas penipuan seperti membuka akun pinjol dan e-wallet tanpa sepengetahuan korban.
Masih banyak lagi risiko KTP palsu yang harus kita waspadai. Yuk, simak penjelasan tentang macam-macam modus penipuan dengan KTP palsu dan cara menghindarinya.
Para pelaku kejahatan terus mengembangkan strategi untuk menyalahgunakan KTP. Ini beberapa modus yang paling umum:
Penipuan yang paling dasar adalah pelaku berpura-pura sebagai petugas resmi Dukcapil atau lembaga yang terkait dengan kependudukan. Pelaku menghubungi korban lewat WhatsApp, SMS, atau email. Kemudian, pelaku akan meminta korban mengirimkan foto KTP dan data pribadi seperti NIK, nomor KK, dan foto selfie.
Setelah itu, data digunakan untuk membuat KTP digital palsu atau untuk mendaftar layanan keuangan tanpa izin.
Modus ini cukup memakan banyak korban. Pelaku menggunakan KTP palsu hasil editan atau hasil curian dari internet. Wajah pada KTP bisa diganti menggunakan teknologi deepfake untuk memanipulasi sistem verifikasi wajah.
Tujuannya adalah mengajukan pinjaman atas nama orang lain. Kemudian tagihannya tentu ditujukan kepada korban asli.
Pelaku membuat KTP palsu dari data dari dark web atau hasil phising untuk mendaftar layanan publik seperti BPJS, dan layanan publik lainnya. Alhasil, korban tidak tahu-menahu saat nomor tersebut digunakan dalam tindak kriminal.
Banyak aplikasi tidak resmi beredar yang mengklaim bisa membuat KTP digital hanya dengan mengunggah foto.
Padahal aplikasi ini hanyalah alat pengumpul data pribadi. Setelah korban mengirimkan data, pelaku bisa menggunakannya untuk membuat KTP palsu untuk beragam tindakan kriminal.
Beberapa pelaku menggunakan KTP hasil edit untuk membuat akun sebagai kurir palsu, merchant palsu, atau pelanggan palsu. Tujuannya untuk menipu pembeli, menjual produk ilegal, hingga mendaftar paylater.
Modus ini melibatkan oknum pegawai lembaga publik atau swasta yang memiliki akses ke data identitas pengguna. Mereka bisa menggandakan: foto KTP, foto selfie memegang KTP, hingga memanipulasi data biometrik.
Bagi siapa pun yang bekerja di bidang yang melibatkan verifikasi identitas, seperti pinjaman online, asuransi, atau perekrutan, kemampuan membedakan KTP asli dan palsu sangat penting.
Berikut ciri-ciri KTP palsu yang harus diperhatikan dan cara cek KTP asli atau palsu:
Cek jenis huruf dan tata letak data. KTP palsu biasanya menggunakan font berbeda, ukuran huruf tidak rapi, atau posisi teks yang tidak presisi. Jika kamu menemukan KTP yang tampilannya mencurigakan, bandingkan dengan KTP asli.
Foto KTP palsu tampak seperti ditempel, blur, atau terlalu kontras. Beberapa KTP palsu bahkan menggunakan wajah yang di-deepfake atau hasil editan AI agar mirip orang tertentu.
Salah satu verifikasi paling akurat adalah memvalidasi NIK langsung ke Dukcapil. Jika data NIK, nama, atau alamat tidak sesuai, kemungkinan besar KTP tersebut palsu atau sudah dimodifikasi.
Ciri-ciri ini seharusnya paling mudah dideteksi. Jika yang diminta adalah KTP asli namun yang diberikan adalah KTP berupa hasil scan atau fotokopi, maka waspada terhadap individu tersebut.
Waspadai juga file KTP dikirim dalam resolusi terlalu rendah atau terpotong sebagian karena biasanya disengaja untuk menyembunyikan kejanggalan.
Landmark digunakan untuk memverifikasi keaslian KTP. Landmark ini digunakan oleh alat pembaca khusus (card reader atau scanner) untuk mencocokkan data fisik dengan data chip di dalam e-KTP. Jika landmark tidak bisa divalidasi, besar kemungkinan itu adalah KTP palsu.
Karena risiko penyalahgunaan data di Indonesia masih tinggi dan sayangnya sistem perlindungan data dari negara belum sepenuhnya kuat, maka langkah terbaik adalah perlindungan dari sisi kita sendiri.
Kalau seseorang minta foto KTP kamu dan tujuannya tidak jelas, tolak saja. Bahkan kalau mengaku dari instansi resmi, selalu minta identitas balik.
Banyak penipuan terjadi karena korban mengirimkan KTP via WhatsApp, Telegram, atau email ke pihak tidak dikenal. Jika perlu mengirimkan KTP, pastikan hanya melalui aplikasi resmi yang punya fitur enkripsi dan terms of service yang jelas.
Banyak aplikasi yang mengklaim bisa membuat atau mengubah KTP jadi versi digital. Padahal, aplikasi-aplikasi ini sering kali ilegal dan berujung pada phishing karena mereka hanya ingin mengumpulkan data KTP kamu.
Ingat: pemerintah tidak pernah menyediakan layanan pembuatan KTP digital dalam bentuk aplikasi publik di Play Store atau App Store. Kalau bukan dari sumber resmi seperti Dukcapil atau mitra PSrE terpercaya, sebaiknya abaikan saja.
Hati-hati saat aplikasi meminta akses ke kamera, galeri, lokasi, hingga dokumen di perangkat kamu. Jika aplikasinya tidak punya alasan jelas untuk minta akses tersebut, itu bisa jadi tanda bahaya. Selalu cek kembali izin yang diminta dan batasi akses.
Bagi bisnis yang berkenaan dengan konsumen dan data pribadi, proses verifikasi KTP sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi. Salah satunya adalah dengan proses verifikasi KTP.
Verifikasi ini dibutuhkan karena jika KTP yang dikirim ternyata palsu, hasil editan, atau tidak sesuai dengan informasi yang diberikan, perusahaan dapat segera menolak proses pendaftaran tersebut.
VIDA menyediakan teknologi verifikasi dokumen (document verification) berbasis AI dan computer vision. Teknologi ini mampu menganalisis dan mendeteksi berbagai indikasi pemalsuan dokumen, mulai dari kualitas gambar hingga keaslian elemen-elemen KTP seperti landmark, struktur teks, hingga cahaya.
Cara kerja verifikasi dokumen VIDA
KTP palsu dapat merugikan individu dan bisnis, terutama dari sektor perbankan, fintech, asuransi, hingga layanan publik. Oleh karena itu selain dimulai dengan menjaga data diri sendiri, perusahaan juga harus menerapkan verifikasi dokumen yang ketat.