BLOG | VIDA DIGITAL IDENTITY

Pasal Penipuan di Indonesia: Jenis, Sanksi, dan Dasar Hukum

Written by VIDA | 2025 Jun 28 00:00:00

Penipuan tidak lagi dilakukan secara tradisional. Di era digital, ancaman ini datang dari banyak sisi, bisa berupa phishing email, pinjaman online bodong, love scam, hingga marketplace palsu. Untungnya, hukum Indonesia sudah menyiapkan pasal-pasal KUHP untuk menangani berbagai bentuk kejahatan ini. Yuk, kita bedah lebih detil berdasarkan pasal penipuan di Indonesia.

Jenis Penipuan Digital yang Marak Terjadi

Sebelum masuk ke pasal penipuan dan hukum yang berlaku, kita bahas dulu beberapa jenis penipuan online yang sering memakan korban:

  • Phishing & Email Spoofing

Korban diarahkan mengklik link palsu yang menyerupai halaman login resmi (bank, marketplace, dompet digital). Saat login atau input OTP, data langsung disedot pelaku.

  • Pinjol Bodong & Debt Trap

Korban tergiur pinjaman cepat tanpa syarat, lalu disodori bunga tidak wajar dan diintimidasi jika telat membayar. Bahkan, ada juga korban yang tidak merasa mengajukan pinjaman, tapi tiba-tiba mendapat tagihan.

  • Romance Scam (Penipuan Kencan)

Pelaku membangun hubungan emosional lewat aplikasi kencan, kemudian meminta uang dengan alasan darurat. Dalam beberapa kasus, data korban bahkan dipakai untuk kejahatan lain (identity theft).

  • Investasi Fiktif dan Kripto Bodong

Iming-iming untung cepat jadi daya tarik utama dalam investasi bodong. Setelah uang ditransfer, pelaku lenyap bersama “platform” palsunya.

  • Akun Marketplace Palsu

Korban tergoda harga murah, lalu mentransfer dana tapi tidak pernah menerima barang. Atau korban diminta mengunduh aplikasi tertentu untuk mendapatkan diskon padahal aplikasi tersebut berisi malware.

Pasal-Pasal Penipuan di Indonesia

Berikut beberapa pasal dari KUHP yang bisa menjerat pelaku penipuan, termasuk dalam konteks online:

1. Pasal 378 KUHP: Penipuan Umum

Pelaku menipu dengan identitas palsu, rangkaian kebohongan, atau tipuan untuk mendapatkan uang atau barang. Contoh kasus yang dikenai pasal penipuan ini adalah penipuan pinjaman online, phishing, atau akun media sosial palsu yang menjanjikan hadiah.

Adapun sanksi yang didapatkan yakni hukuman penjara paling lama 4 tahun.

2. Pasal 379 KUHP: Penipuan dengan Surat Palsu

Pelaku menggunakan dokumen palsu atau dipalsukan untuk mengelabui korban. Contohnya adalah pemalsuan bukti transfer, invoice palsu, atau surat pengangkatan kerja fiktif. Sanksi yang didapatkan pelaku yakni penjara paling lama 5 tahun.

3. Pasal 372 KUHP: Penggelapan

Pasal penipuan dan penggelapan adalah Pasal 372 KUHP. Pelaku menggelapkan barang yang dipercayakan kepadanya. Contoh kasusnya, karyawan e-commerce yang mengalihkan dana konsumen, atau perantara yang menerima dana namun tidak mengirimkan barang.

Adapun sanksi untuk kasus ini penjara maksimal 4 tahun.

4. Pasal 264 KUHP: Pemalsuan Dokumen

Pemalsuan dokumen juga dianggap merupakan tindak kejahatan kriminal. Pemalsuan dokumen elektronik atau cetak dengan tujuan meraup keuntungan dikenal pasal penipuan Pasal 264 KUHP. Contoh dokumen yang dipalsukan adalah keterangan palsu, tanda tangan digital fiktif, atau akun e-wallet dengan identitas curian.

Sanksi yang dikenai kepada pelaku yakni hukuman penjara maksimal 6 tahun.

5. Pasal 386 KUHP: Penipuan dalam Transaksi Dagang

Pelaku menjual barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Contoh kasusnya jual beli barang palsu di marketplace, atau manipulasi kualitas produk lewat foto.

Sanksi yang didapatkan adalah hukuman penjara paling lama 5 tahun.

6. Pasal 490 KUHP: Penipuan dalam Perkawinan

Penipuan yang dilakukan dalam konteks pernikahan, seperti menyembunyikan status atau memanipulasi data pribadi.

Meski berbeda dari penipuan perkawinan, belakangan ini marak terjadi jenis penipuan digital yang dikenal sebagai romance scam. Modus ini biasanya berlangsung melalui aplikasi kencan atau media sosial. Pelaku akan berpura-pura menjalin hubungan serius, membangun kepercayaan, dan menciptakan kedekatan emosional dengan korban.

Namun, saat korban mulai luluh dan percaya, pelaku mulai melancarkan aksinya mulai dari meminta uang dengan alasan darurat, mengajak investasi fiktif, hingga meminta data pribadi.

7. Pasal 64 KUHP:  Pemberatan untuk Penipuan Berulang

Jika penipuan dilakukan lebih dari sekali atau secara sistematis, maka pelaku bisa dikenai hukuman yang lebih berat. Nah, pelaku akan dikenal pasal penipuan ini.

Dasar Hukum Selain Pasal Penipuan

Selain pasal-pasal penipuan dari KUHP, berikut dasar hukum lainnya yang mengatur penipuan online:

1. Penipuan Digital dalam UU ITE

Dalam konteks online, penipuan juga diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan perubahannya pada UU No. 19 Tahun 2016. Dikutip dari UU ITE, Pasal 28 ayat (1) menyatakan:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”

Sanksinya diatur dalam Pasal 45A ayat (1) berupa pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Pasal ini banyak digunakan dalam kasus penipuan online seperti phishing, marketplace palsu, dan akun bodong di media sosial.

2. Penipuan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Selain pidana, penipuan juga dapat digugat secara perdata sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Dikutip dari sumber hukum perdata, jalur ini umum digunakan ketika korban menuntut ganti rugi finansial akibat penipuan.

3. Penipuan kepada Konsumen: UU Perlindungan Konsumen

Penipuan oleh pelaku usaha terhadap konsumen juga diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dikutip dari pasal-pasal dalam UU tersebut:

  • Pasal 10 dan Pasal 12 melarang pelaku usaha memalsukan atau menyampaikan informasi menyesatkan.
  • Pelaku bisa dikenakan sanksi pidana maksimal 5 tahun penjara atau denda maksimal Rp2 miliar.

Contoh: penipuan diskon palsu di e-commerce atau promosi berlebihan tanpa bukti.

Perlindungan dari Penipuan Online

Mengenali dasar hukum saja tidak cukup. Kita juga perlu meningkatkan keamanan akun untuk menghindari penipuan online. Salah satunya adalah dengan menghindari penggunaan OTP atau password yang mudah diretas, dan menggantinya dengan Passkey. Apa itu Passkey?

Passkey adalah cara login tanpa password, PIN, maupun OTP. Terus gimana caranya kamu login kalau tanpa hal tersebut? Nah, kredensial login ini tersimpan langsung di handphone kamu, dan hanya bisa digunakan di handphone tersebut.

Untuk login ke akun, kamu cukup verifikasi wajahmu. Kenapa harus wajah, karena kredensial tersebut adalah sesuatu yang benar-benar dirimu.

Bayangkan seperti ini:

Biasanya, kamu login ke akun bank atau dompet digital pakai password atau OTP. Dengan passkey, semua itu diganti. Kamu cukup buka aplikasi dan scan wajahmu, lalu langsung masuk. Akunmu hanya bisa diakses dari handphone kamu, dan hanya oleh kamu.

VIDA sebagai perusahaan identitas digital menyediakan cara login ini, yakni dengan VIDA PhoneToken (otentikasi biometrik) dan VIDA FaceToken (otentikasi perangkat). Kedua jenis otentikasi ini dikombinasikan agar pengguna tidak perlu lagi menggunakan password, PIN, atau OTP.