Deepfake, sebuah istilah yang mengacu pada manipulasi konten (foto, video, dan audio) dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI) telah membuka pintu bagi berbagai kreativitas. Yang paling terkenal adalah pada film the Mandalorian (Star Wars series) ketika tokoh Luke Skywalker muda muncul diperankan oleh Mark Hamill yang saat itu sudah tua. Di ranah media sosial, deepfake hadir dalam bentuk filter foto untuk megganti wajah. Juga, beredarnya video mantan presiden Soeharto saat pemilu 2024 beberapa waktu lalu.
Jadi sebenarnya, apa tantangan dan batasan deepfake? Apakah deepfake melanggar etika?
Baca juga: Apa itu Deepfake?
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dengan teknologi deepfake adalah menguji kepercayaan dan kredibilitas. Dengan mampu menciptakan konten palsu yang sangat realistis, deepfake berpotensi digunakan untuk menyebarluaskan informasi palsu atau menyebarkan berita palsu, yang pada gilirannya justru memicu kebingungan publik hingga merusak reputasi individu atau lembaga.
Ketika kepercayaan dan kredibilitas dipertanyakan, kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah melemahkan reputasi individu atau lembaga. Hal ini bisa makin parah apabila deepfake terbukti merugikan pihak lain. Apabila tidak ditangani cepat, dampak deepfake bisa menghancurkan lembaga atau perusahaan.
Meski deepfake yang beredar saat ini terlihat menghibur, namun deepfake nyatanya memberikan peluang bagi penyalahgunaan dan kejahatan yang serius. Misalnya, deepfake berupa video atau audio palsu yang dipakai untuk tujuan penipuan, pemerasan, atau bahkan penggiringan opini publik. Di Hongkong, kasus ini menimpa seorang karyawan yang ditipu 400 miliar rupiah karena mendapat video call dari bosnya. Ternyata, bos itu adalah penipu yang menggunakan deepfake untuk menyamar.
Baca Juga: Deepfake Mengancam Keamanan Transaksi Digital
Teknologi deepfake juga menimbulkan ancaman terhadap privasi individu dan keamanan data. Dengan kemampuannya untuk menciptakan konten yang meniru wajah atau suara seseorang, deepfake dapat digunakan untuk menyebarkan informasi pribadi palsu atau memalsukan identitas, menyebabkan kerugian finansial atau reputasi bagi korban.
Lalu sampai batas mana deepfake bisa digunakan secara etis? Sejauh ini, industri film dan influencer visual dianggap paling aman untuk menggunakan deepfake. Contoh dalam industri film telah disebutkan di atas, sedangkan influencer virtual adalah influencer buatan dengan penampilan dan kepribadian yang mirip dengan manusia. Biaya untuk influencer virtual disebut-sebut lebih murah daripada influencer nyata karena seluruhnya menggunakan AI. Perusahaan menggunakan influencer virtual untuk kampanye marketing, launching merek, hingga brand ambassador.
Dalam menghadapi tantangan dan batasan teknologi deepfake, penting bagi masyarakat untuk tetap waspada dan kritis terhadap konten digital yang mereka konsumsi. Ketika inovasi deepfake memberikan manfaat, penting juga untuk memberikan batasan agar deepfake tidak menjadi sumber kejahatan.