BLOG | VIDA DIGITAL IDENTITY

Transaksi Reversal: Definisi, Penyebab, Kasus serta Pencegahan

Written by VIDA | 2025 Sep 16 00:00:00

Aktivitas transaksi keuangan yang semakin cepat dan praktis terkadang menimbulkan celah kesalahan. Misalnya, pernahkah kalian mengajukan refund, pengembalian, atau justru menjadi pihak yang diminta refund? Nah, itu merupakan beberapa contoh kesalahan yang disebut juga transaksi reversal.

Istilah ini semakin sering dibicarakan, terutama dalam konteks penipuan online dan fraud perbankan.

Jika kamu konsumen, pelaku usaha digital, e-commerce, atau penyedia layanan finansial, memahami apa itu transaksi reversal sangat penting. Tujuannya agar kamu lebih berhati-hati ketika bertransaksi sekaligus mencegah potensi fraud.

Baca lebih lanjut tentang transaksi reversal dan bagaimana ia menjadi salah satu modus penipuan.

Pengertian Transaksi Reversal

Transaksi reversal adalah proses pembatalan atau pengembalian dana dari suatu transaksi yang sebelumnya telah dianggap berhasil. Sederhananya, uang yang sudah masuk ke rekening penerima bisa ditarik kembali karena alasan tertentu.

Proses ini bisa terjadi pada berbagai jenis transaksi seperti transfer bank, pembayaran kartu kredit, e-wallet, transaksi di e-commerce, dan transaksi online lainnya. Tujuan reversal bisa bermacam-macam, mulai dari kesalahan teknis, pengembalian barang, hingga kecurigaan terhadap aktivitas mencurigakan.

Contoh tindakan reversal misalnya pembeli membayar barang lewat kartu kredit, tapi kemudian melakukan chargeback karena merasa tidak menerima barang.

Contoh lainnya, mengguna e-wallet mentransfer uang ke nomor yang salah dan mengajukan pengembalian.

Dari segi penyedia layanan pembayaran misalnya sistem mendeteksi duplikasi dan secara otomatis membatalkan salah satu transaksi.

Penyebab Transaksi Reversal

Ada banyak alasan kenapa transaksi reversal bisa terjadi. Berikut beberapa penyebab umum:

1. Kesalahan Pengguna

Kesalahan pengguna menjadi faktor esensial mengapa transaksi reversal terjadi. Biasanya, pengguna layanan atau nasabah salah memasukkan nominal atau nomor rekening tujuan. Bisa juga karena duplikasi pembayaran.

2. Masalah Teknis

Kesalahan ini ada pada pihak penyedia layanan. Contohnya kegagalan sistem saat memverifikasi pembayaran akibat masalah pada jaringan.

3. Permintaan Konsumen

Transaksi reversal juga banyak terjadi karena permintaan konsumen. Bentuknya berupa permintaan refund dari pelanggan karena barang rusak, tidak sesuai, atau tidak dikirim. Bisa juga karena pengguna mengklaim transaksi tidak sah atau tidak mereka lakukan.

4. Kecurigaan terhadap Fraud

Penyedia layanan yang menjaga keamanan penggunanya biasanya juga melakukan fungsi pengawasan transaksi. Ketika sistem menemukan transaksi yang mencurigakan, mereka memutuskan untuk membatalkan transaksi demi alasan keamanan.

Transaksi Reversal sebagai Modus Penipuan

Seiring meningkatnya jumlah transaksi digital, pelaku kejahatan semakin kreatif menggunakan transaksi reversal sebagai bagian dari skema penipuan. Berikut beberapa modus penipuan berkedok transaksi reversal: 

1. Chargeback Fraud (Friendly Fraud)

Modus ini sering terjadi dalam ekosistem e-commerce atau platform digital yang menerima pembayaran via kartu kredit. Pelaku membeli barang atau jasa secara sah, lalu mengajukan chargeback ke pihak bank atau penyedia kartu kredit dengan alasan barang tidak diterima atau kartu digunakan tanpa izin. 

Padahal, barang sudah diterima dan transaksi dilakukan dengan sengaja. Dalam banyak kasus, pelaku mendapatkan barang gratis, dan merchant kehilangan uang karena bank menarik kembali dana transaksi. Ini disebut friendly fraud karena pelakunya adalah pelanggan yang tampaknya “baik-baik saja.”

2. Fake Refund (Pengembalian Palsu)

Pada modus ini, pelaku membeli produk dan mengklaim pengembalian dana karena alasan palsu, misalnya: barang rusak (padahal tidak), tidak sesuai deskripsi (padahal sesuai), dan tidak dikirim (padahal sudah sampai)

Beberapa pelaku bahkan memalsukan dokumen bukti atau memakai video unboxing palsu. Sistem yang otomatis menyetujui refund tanpa verifikasi menjadi target utama.

3. Social Engineering via Reversal Scam

Pelaku berpura-pura menjadi customer service palsu dari bank atau e-wallet. Mereka menelpon korban dan mengatakan bahwa ada transaksi mencurigakan yang masuk ke rekening korban dan butuh reversal cepat untuk “menyelamatkan” dana.

Setelah itu, mereka meminta korban untuk mengirim ulang uang, memberikan OTP atau PIN, hingga mengisi form link palsu. 

Akhirnya, korban sendiri yang mengirim dana ke penipu, dengan ilusi bahwa mereka sedang menyelamatkan uangnya.

4. Manipulasi Identitas (Identity Theft)

Penipu menggunakan data pribadi curian, misalnya dari kebocoran KTP, SIM, atau selfie pengguna. Dengan ini, mereka membuka akun palsu di platform digital dan melakukan transaksi pembelian.

Setelah transaksi selesai, mereka mengklaim bahwa akun mereka dibajak dan meminta reversal atas dasar “unauthorized transaction”.

Tanpa sistem biometrik liveness check atau verifikasi ID digital yang kuat, merchant bisa dengan mudah tertipu dan kehilangan dana.

5. Synthetic Identity Fraud

Pelaku membuat identitas digital baru dengan menggabungkan data asli dan palsu (misalnya, NIK yang valid dengan nama atau foto yang palsu). Setelah membuat akun, mereka melakukan transaksi normal agar terlihat kredibel, lalu melakukan reversal dengan mengklaim “pembajakan”.

Modus ini berbahaya karena tidak bisa dideteksi hanya dengan pencocokan data dokumen, tapi membutuhkan sistem verifikasi perilaku dan biometrik.

6. Reversal untuk Pencucian Uang (Money Mule)

Pelaku memanfaatkan sistem reversal untuk “memutihkan” dana gelap. Uang dikirim via transaksi ke akun tertentu, lalu diminta reversal ke akun berbeda. Dalam skala besar dan sistem yang longgar, ini bisa jadi metode pencucian uang digital.

Cara Mencegah Transaksi Reversal

Agar tidak mengalami transaksi reversal, kamu bisa menerapkan langkah-langkah berikut:

1. Gunakan Verifikasi Identitas yang Kuat

Platform yang melakukan verifikasi identitas (identity verification) secara menyeluruh akan jauh lebih terlindungi. Sistem seperti VIDA Verify dan VIDA Authentication membantu memastikan bahwa pengguna benar-benar pemilik identitasnya melalui kombinasi:

  • Liveness detection untuk mencegah deepfake atau face spoofing.
  • OCR (Optical Character Recognition) untuk akurasi baca dokumen identitas.
  • Face match dan biometrik yang terhubung ke NIK dan dokumen resmi.

2. Monitor Pola Transaksi

Gunakan sistem monitoring real-time berbasis AI yang bisa mendeteksi transaksi tidak wajar atau outlier behavior. Ini bisa memicu flag otomatis sebelum transaksi berisiko diteruskan.

3. Terapkan Kebijakan Refund dan Chargeback yang Ketat

Pastikan semua pengajuan reversal harus melalui proses verifikasi, termasuk bukti pengiriman, log transaksi, hingga verifikasi identitas pemohon refund.

4. Edukasi Pengguna

Sampaikan secara transparan bahwa reversal bukan fasilitas main-main. Ajarkan pengguna untuk melindungi data pribadi dan tidak mudah percaya pada permintaan reversal yang tidak jelas asal-usulnya.

Transaksi reversal bisa menjadi penyelamat saat terjadi kesalahan transaksi. Tapi di sisi lain, bisa pula menjadi celah bagi pelaku penipuan.

Teknologi seperti VIDA Digital Identity tidak hanya membantu mengamankan transaksi, tapi juga menjaga kepercayaan pelanggan dan menjaga integritas sistem keuangan digital. Dengan strategi pencegahan yang tepat, kamu bisa meminimalisir risiko transaksi reversal dan menghindari kerugian di masa depan.