Istilah low touch economy semakin mencuat di masa pandemi Covid 19. Istilah tersebut juga menjadi konsep baru dan menjadi sebuah terobosan bagi dunia bisnis dan perusahaan untuk tetap maju, berinovasi, dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada para konsumen mereka.
Seperti namanya, low touch economy merupakan strategi bisnis di mana dalam prosesnya lebih mengarah pada ‘minim sentuhan’ atau ‘bebas sentuhan’. Sederhananya adalah, jika dulu proses transaksi bisnis dilakukan secara konvensional seperti pembayaran tunai, melakukan pembelian di toko, atau mengambil uang di ATM untuk membeli menjadi proses transaksi yang penting, semua hal tersebut menjadi semakin dihindari akibat pandemi virus penyebab Covid-19. Kini konsumen akan lebih menggunakan teknologi dan mengurangi kontak langsung antara dengan penjual dalam sebuah transaksi. Mulai dari pemilihan barang untuk dibeli, pembayaran, hingga pengiriman semua dilakukan secara online.
Namun dalam terciptanya low touch economy harus didukung oleh sistem lainnya. Contohnya adalah sistem penandatanganan dokumen bisnis dengan tanda tangan digital. Sebelumnya, penandatanganan hanya dilakukan konvensional yakni pengambil keputusan, haruslah membubuhkan tanda tangan dan bertemu fisik untuk keabsahan dokumen atau perjanjian kerja. Sekarang, hal seperti itu bisa digantikan oleh tanda tangan digital yang berfungsi sebagai identitas digital seseorang. Dengan begitu, segala keputusan bisnis yang diambil akan lebih cepat dieksekusi tanpa harus menunggu tanda tangan secara fisik. Selain cepat, metode ini juga akan menghemat biaya bagi para pemangku perusahaan dan keabsahan tanda tangan digital ini pun diakui. Lantas, apa saja yang membuat konsep low touch economy ini menjadi penting bagi bisnis di era digital dan new normal? Berikut penjelasannya.
Kemunculan low touch economy dipengaruhi oleh pergeseran kebiasaan masyarakat di era transisi. Bila sebelumnya masyarakat belum pernah merasa aware terhadap kebersihan, maka di era new normal kebersihan menjadi hal utama. Baik dalam lingkungan rumah, bisnis dan industri, maupun hal lainnya. Kemudian, di era ini pula terjadi pergeseran besar. Di mana banyak pelaku bisnis maupun masyarakat lebih menekankan pada penggunaan teknologi dalam beraktivitas. Seperti bertransaksi dan sebagainya.
Selain hal tersebut, melansir dari Board of Innovation, Bobby Kaisar, dan Emir Research menyebutkan bahwa pergeseran kebiasaan di era new normal meliputi:
1. Konsumen Lebih Menjaga Kebersihan
Mengingat penyebaran Covid 19 yang sangat cepat, konsumen menjadi lebih menjaga kehati-hatian dalam berinteraksi, termasuk dalam bertransaksi. Perhatian terhadap kebersihan ini akan menjadi tuntutan bagi para pebisnis dan perusahaan dalam memberikan pengalaman yang baik pada konsumen. Perhatian pada kebersihan itu dapat dilakukan mulai dari desain produk yang berbeda atau mengubah pengalaman berbelanja. Seperti penerapan protokol kesehatan yang menjadi perhatian utama. Pemeriksaan dilakukan ketika konsumen memasuki sebuah area perbelanjaan, pelayanan publik, maupun tempat yang bisa mendatangkan kerumunan. Termasuk pemeriksaan pada data tracing pengunjung menggunakan identitas digital.
2. Kesehatan Mental Masyarakat
Pandemi Covid 19 dilaporkan juga telah menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kesepian di masyarakat. Rasa cemas dan panik membuat mereka menjadi enggan untuk keluar rumah bila tidak benar-benar penting. Kebijakan pembatasan sosial juga berdampak pada masalah hubungan dan komunikasi. Termasuk pula mereka yang terdampak dari segi pekerjaan, pada akhirnya memengaruhi kesehatan mental. Akibat fenomena ini sebenarnya bisnis dapat melihat peluang dan memberikan solusi. Misalnya menyediakan teknologi untuk berkomunikasi secara masif, baik untuk meeting maupun konferensi, atau bekerja dari rumah. Rasa bosan dan tertekan di masyarakat pada akhirnya, akan menguntungkan perusahaan teknologi. Sebagai contoh, untuk mengusir kebosanan masyarakat cenderung menggunakan smartphone mereka sebagai teman. Baik itu bermain game atau sekadar browsing. Data dari McKinsey & Company dalam surveinya, menjelaskan bahwa masyarakat ternyata menjadi lebih banyak mengakses streaming online, bermain games, dan bermain aplikasi seperti TikTok untuk menghilangkan kejenuhan.
3. Pembatasan Mobilitas
Mengingat semakin massfinya persebaran Covid 19, membuat pemerintah maupun pebisnis mau tidak mau menjalankan pembatasan sosial. Ini tentu akan berdampak langsung pada industri seperti pariwisata, perhotelan, dan restoran yang membutuhkan mobilitas orang dalam jumlah tinggi. Akibat pembatasan mobilitas ini terjadi pengurangan intensitas perjalanan ke luar negeri maupun domestik. Namun diprediksi industri pariwisata lokal nantinya akan yang diuntungkan. Ini karena, ada kekhawatiran bagi masyarakat yang melakukan wisata ke luar negeri dan mereka memilih tempat wisata yang dekat dari rumah dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
4. Lebih Intens Bekerja dari Rumah
Banyak perusahaan membuat kebijakan karyawan bekerja dari rumah atas pertimbangan kesehatan. Namun kebijakan ini bukan tanpa resiko karena ternyata ini bisa berdampak pada performa perusahaan. Produktivitas pekerja yang menjadi rendah ditambah pula dan daya beli konsumen yang menurun juga akan berpengaruh pada kesehatan perusahaan. Lantas, untuk memangkas beban perusahaan, maka work from home (WFH) menjadi solusinya. Saat WFH, para karyawan dituntut untuk lebih melek terhadap teknologi. Sebab, mereka menggunakannya untuk berbagai keperluan seperti meeting, transaksi, hingga membuat keputusan bersama. Semua hal ini mutlak membutuhkan identitas digital yang andal dan berkualitas. Karena seluruh otentifikasi dilakukan secara daring (online)
5. Identitas Digital Semakin Penting
Dalam salah satu artikel di laman Wired menyebutkan bahwa data di abad 21 seperti minyak di abad 18. Hal ini karena data memegang peranan fundamental bagi perkembangan perusahaan layaknya sebuah komoditas yang sangat bernilai. Data yang dimaksud di sini salah satunya adalah data dari konsumen dan identitas digital seseorang di sebuah wilayah. Tujuannya adalah, dengan adanya data yang diproses menggunakan teknologi kecerdasan buatan, mampu digunakan untuk memetakan strategi perusahaan. Namun tak jarang pula ada pula pihak yang memanfaatkan data dan identitas digital tersebut untuk tujuan yang melanggar hukum.
Sementara di era new normal masyarakat akan banyak dilibatkan dalam penerapan identitas digital. Sebab, penggunaan identitas digital yang semakin marak digunakan untuk berbagai keperluan. Mulai untuk mendukung kinerja maupun pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Data pun dapat digunakan untuk program jaminan sosial. Jaminan sosial ini penting bagi masyarakat karena ada banyak orang yang terkena dampak pandemi sehingga harus dirumahkan oleh perusahaan dan menjadi pengangguran, Penerapan jaminan sosial yang menggunakan identitas digital ternyata seolah menjadi jalan bagi mereka untuk bertahan di situasi terpuruk. Alasannya adalah, identitas digital dapat menjadi syarat utama bagi sebuah lembaga negara dalam memberikan bantuan tepat sasaran. Ketika bantuan sosial telah diterima oleh pemegang identitas digital tersebut, maka dapat digunakan untuk membangun ekonominya kembali. Sehingga tidak heran jika sebagian orang menilai data seperti identitas digital menjadi sebuah aset penting di masa pandemi.
6. Ritel Berevolusi Semakin Digital
Seperti disebutkan sebelumnya, sektor ekonomi yang paling terkena dampak dari pandemi Covid 19 adalah perhotelan, pariwisata, dan restoran, hingga ritel. Akan tetapi, ketika perusahaan atau bisnis menjalankan low touch economy, maka perusahaan akan semakin bisa beradaptasi dan bertahan. Ambil contoh seperti bisnis ritel maupun bisnis distribusi yang menerapkan layanan pesan antar. Tentu selain memudahkan konsumen, layanan pesan antar juga membuat perusahaan tetap mampu memenuhi kebutuhan konsumennya. Begitu pula untuk bisnis restoran yang mengurangi layanan dine-in dan beralih ke layanan pesan antar secara online. Dengan begitu, industri ritel tidak mati tetapi berhasil untuk beradaptasi dan berevolusi menjadi lebih digital.
Low touch economy sangat berpengaruh pada industri dan bisnis tertentu. Dalam survei McKinsey & Company yang bertajuk ‘McKinsey & Company COVID-19 Consumer Pulse Survey’ terdapat lima sektor ekonomi yang mendapat keuntungan dalam menerapkan strategi ekonomi baru ini. Yakni sektor hiburan, ekspedisi dan pengantaran, makanan dan belanja, komunikasi, dan sektor kesehatan. Dari sektor hiburan, layanan streaming online dan games menjadi yang paling banyak berdampak positif dari low touch economy. Bahkan, aplikasi TikTok berdasarkan survei tersebut sebagaimana dilansir dari Kumparan.com menyebutkan terjadi peningkatan pengguna baru di Perancis dan Jerman sebesar 50%. Lalu, dari sektor komunikasi video conference baik untuk perusahaan, pribadi, hingga keperluan pendidikan jarak jauh d beberapa negara juga meningkat lebih dari 50%. Peningkatan terbanyak terjadi pada sektor kesehatan terpadu yang terintegrasi dengan sistem komunikasi. Misalnya untuk telemedis di Inggris mengalami peningkatan penggunaan 70-100% setiap pekannya.
Mungkin kita sudah terbiasa untuk berjabat tangan, bertemu konsumen secara langsung, dan bertransaksi secara fisik di masa sebelum pandemi. Namun setelah pandemi, semua akan berubah secara signifikan dengan penerapan Low Touch Economy. Bila keterpurukan dalam dunia bisnis di era pasca Perang Dunia II dapat teratasi dengan adanya bantuan Marshall Plan, maka di era new normal saat ini metode Digital Adoption adalah salah satu jalan bagi kebangkitan ekonomi baru.
Digital adoption sendiri lebih mengarah pada penggunaan teknologi digital dalam berbagai aspek. Mulai dari fungsi dasar hingga fungsi yang paling komplek untuk memberikan keuntungan lebih bagi sebuah bisnis dan perusahaan. Tidak hanya dari segi peralatannya saja, sumber daya manusia yang ada juga penting untuk menerapkan mindset penggunaan teknologi digital dalam bisnis. Adanya low touch economy, merupakan bentuk dari digital adoption. Secara jangka pendek maupun jangka panjang hal itu akan memberikan dampak yang signifikan terhadap konsumen maupun perusahaan. Baik itu dampak pada segi ekonomi maupun pola perubahan perilaku masyarakat. Di samping itu low touch economy memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap kebijakan pemerintah di masa pandemi. Misalnya saja, mengurangi kontak fisik selama masa PSBB dan membantu agar roda perekonomian tetap berjalan dan negara maupun masyarakat tidak kolaps. Kemudian, low touch economy juga memiliki kontribusi dalam mendukung penerapan work from home perusahaan. Hal itu secara tidak langsung dapat memberikan mindset baru bagi perusahaan dan bisnis jika ada beberapa hal penting yang sebenarnya bisa dikerjakan secara remote. Dengan begitu, ini akan memangkas biaya operasi di masa mendatang.
Penerapan low touch economy oleh perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan teknologi digital juga perlu memperhatikan penggunaan identitas digital. Sebab, seperti dilansir HelpNet Security yang menyebutkan bahwa kunci untuk melakukan transformasi digital dalam rangka penerapan low touch economy adalah penggunaan identitas digital yang aman. Penggunaan identitas digital yang aman, juga selaras dengan hasil riset Forrester. Riset tersebut mengungkap bahwa sekitar 56% perusahaan merasa penerapan identitas digital sangat membantu dalam proses digitalisasi perusahaan. Sedangkan 38% lainnya menyebutkan jika identitas digital ini memiliki manfaat jangka panjang bagi perkembangan bisnis selama beberapa tahun mendatang. Tak heran jika McKinsey juga menyebutkan jika market value sebesar 20 miliar dolar pada tahun 2022 mendatang. Dengan begitu, tak diragukan bila digital identity ini memberikan dampak yang begitu besar bagi bisnis dan perusahan dalam menerapkan low touch economy baik jangka pendek maupun jangka panjang sebagai perubahan ekonomi pasca pandemi virus Corona.
Baca juga: Transformasi Digital yang Terjadi Akibat Pandemi Koronavirus